CERITA KI AGENG SELO
KI AGENG SELO
KI AGENG SELO
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Ki Ageng Selo adalah keturunan Raja
Majapahit, Brawijaya V. Pernikahan Brawijaya V dengan Putri Wandan
Kuning melahirkan Bondan Kejawen atau Lembu Peteng. Lembu Peteng yang
menikah dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub, menurunkan Ki
Ageng Getas Pendawa. Dari Ki Ageng Getas Pendawa lahirlah Bogus Sogom
alias Syekh Abdurrahman alias Ki Ageng Selo.
Lantas, bagaimana juntrungan-nya Ki Ageng Selo bisa disebut penurun
raja-raja Mataram? Ki Ageng Selo menurunkan Ki Ageng Ngenis. Ki Ageng
Ngenis menurunkan Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan menurunkan
Panembahan Senapati. Dari Panembahan Senapati inilah diturunkan para
raja Mataram sampai sekarang.
Namun, perkembangan ini hendaknya tidak melenakan, bahwa di sisi lain
ada hal urgen yang mutlak diperhatikan. Yaitu, keabadian sejarah dan
konsistensi mengamalkan Serat Pepali Ki Ageng Selo, yang merupakan
pengejawantahan ajaran Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Untuk yang pertama (mengabadikan sejarah) meniscayakan adanya kodifikasi
sejarah Ki Ageng Selo dalam satu buku khusus, sebagaimana Wali Songo
dan para wali lain bahkan para kiai mutakhir juga diabadikan ketokohan,
jasa-jasa, dan keteladanannya dalam catatan sejarah yang utuh dan
tuntas. Dari pengamatan penulis, buku-buku sejarah yang ada saat ini
hanya menuturkan sekelumit saja tentang keberadaan Ki Ageng Selo sebagai
penurun para raja Mataram (Surakarta dan Yogyakarta), serta
kedigdayaannya menangkap petir (bledeg).
Minimnya perhatian ahli sejarah dan langkanya buku sejarah yang mengupas
tuntas sejarah waliyullah sang penangkap petir, memunculkan
kekhawatiran akan keasingan generasi mendatang dari sosok mulia kakek
moyang raja-raja Mataram. Tidak mustahil, anak cucu kita (termasuk warga
Surakarta dan Yogyakarta) akan asing dengan siapa dan apa jasa Ki Ageng
Selo serta keteladanan-keteladanannya. Barangkali tidak banyak yang
tahu bahwa Surakarta dan Yogyakarta memiliki ikatan sejarah dan
emosional yang erat dengan Selo. Mungkin hanya warga di lingkungan
Keraton yang mengetahui itu. Padahal ikatan itu kian kukuh dengan
diabadikannya api bledeg di tiga kota tersebut. Bahkan pada tahun-tahun
tertentu (Tahun Dal), untuk keperluan Gerebeg dan sebagainya, Keraton
Surakarta mengambil api dari Selo.
Cerita Ki Ageng Sela merupakan cerita legendaris. Tokoh ini dianggap
sebagai penurun raja - raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta sampai
sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman Sela, dimana
sekarang makamnya terdapat di desa Sela, Kecamatan Tawangharjo,
Kabupaten Dati II Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal
oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang
sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal
sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg).
Menurut cerita dalam babad tanah Jawi ( Meinama, 1905; Al - thoff,
1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit : Prabu
Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini lahir
seorang anak laki - laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut
ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja,
Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar
setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru
agama Islam dan ilmu kesaktian. Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah
menjadi Lembu Peteng. Dia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang
bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng
Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu Peteng
menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari
perkawinan antara Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas
Pendowo dan seorang putri yang kawin dengan Ki Ageng Ngerang.
Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu :
1. Ki Ageng Sela,
2. Nyai Ageng Pakis,
3. Nyai Ageng Purna,
4. Nyai Ageng Kare,
5. Nyai Ageng Wanglu,
6. Nyai Ageng Bokong,
7. Nyai Ageng Adibaya .
Kesukaan Ki Ageng Sela adalah bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil
bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil
sawahnya dibagi - bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup
berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela mendirikan perguruan Islam.
Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu
muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam
tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat
menurunkan raja - raja besar yang menguasai seluruh Jawa .
Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten gubug
pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki Ageng
sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing
dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad.
Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana,
Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki
Jaka Tingkir. ( Altholif : 35 - 36 ) .
Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Sela untuk dapat
menurunkan raja - raja besar sudah di dahului oleh Jaka Tingkir atau Mas
Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya hatinya
berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian kepada
Jaka tingkir, Ki Ageng sela berkata :
Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing wahyumu
(Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ). Suatu ketika Ki Ageng Sela ingin
melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya dia harus mau diuji
dahulu dengan diadu dengan banteng liar. Ki Ageng Sela dapat membunuh
banteng tersebut, tetapi dia takut kena percikan darahnya. Akibatnya
lamarannya ditolak, sebab seorang prajurit tidak boleh takut melihat
darah. Karena sakit hati maka Ki Ageng mengamuk, tetapi kalah dan
kembali ke desanya : Sela. Selanjutnya cerita tentang Ki Ageng Sela
menangkap “ bledheg “ cerita tutur dalam babad sebagai berikut :
Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari Ki Ageng
Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan.
Tidak lama memang benar - benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar.
Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak - enak menyangkul, baru sebentar dia
mencangkul, datanglah “ bledheg “ itu menyambar Ki Ageng, berwujud
seorang kakek - kakek. Kakek itu cepat - cepat ditangkap nya dan kena,
kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya.
Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan
dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh
didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun - alun. Banyak
orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu
datanglah seorang nenek - nenek dengan membawa air kendi. Air itu
diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum
terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu
lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi
tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.
Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan dhalang Ki
Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai
Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak dibunuhnya.
Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “ Bende “ tersebut kemudian
diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram.
Bila “ Bende “ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda
perangnya akan menang tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda
perangnya akan kalah.
Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Sela sedang menggendong
anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya. Datanglah orang
mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi dia “ kesrimpet “
batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia
menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Sela
menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di
halaman rumah memakai kain cinde .
Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun - turunipun sampun
nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh serta dhahar
wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).
Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu :
1. Nyai Ageng Lurung Tengah,
2. Nyai Ageng Saba ( Wanasaba ),
3. Nyai Ageng Basri,
4. Nyai Ageng Jati,
5. Nyai Ageng Patanen,
6. Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki - laki bernama
7. Kyai Ageng Enis.
Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kawin dengan putri
sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau
Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama
Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki
Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama - sama berguru
kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya ( Jaka
Tingkir ). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat
tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng
Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. ( M.
Atmodarminto, 1955 : 1222 ) .
Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng Sela adalah nenek moyang raja - raja
Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng
Sela sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja - raja Surakarta dan
Yogyakarta tersebut. Sebelum GREBEG Mulud, utusan dari Surakarta datang
ke makam Ki Ageng Sela untuk mengambil api abadi yang selalu menyala
didalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja -
raja Yogyakarta Api dari Sela dianggap sebagai keramat .
Bahkan dikatakan bahwa dahulu pengambilan api dilakukan dengan memakai
arak - arakan, agar setiap pangeran juga dapat mengambil api itu dan
dinyalakan ditempat pemujaan di rumah masing - masing. Menurut Shrieke
api sela itu sesungguhnya mencerminkan “asas kekuasaan bersinar “.
Bahkan data - data dari sumber babad mengatakan bahkan kekuasaan sinar
itu merupakan lambang kekuasaan raja - raja didunia. Bayi Ken Arok
bersinar, pusat Ken Dedes bersinar; perpindahan kekuasaan dari Majapahit
ke Demak diwujudkan karena adanya perpindahan sinar; adanya wahyu
kraton juga diwujudkan dalam bentuk sinar cemerlang .
Dari pandangan tersebut, api sela mungkin untuk bukti penguat bahwa di
desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang Kamulan yang tetap misterius
itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan sisa - sisa bekas kraton tua (
Reffles, 1817 : 5 ). Peninggalan itu terdapat di daerah distrik
Wirasaba yang berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain terdapat di
daerah Purwodadi .
Sebutan “ Sela “ mungkin berkaitan dengan adanya “ bukit berapi yang
berlumpur, sumber - sumber garam dan api abadi yang keluar dari dalam
bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut .
Ketika daerah kerajaan dalam keadaan perang Diponegoro, Sunan dan Sultan
mengadakan perjanjian tanggal 27 September 1830 yang menetapkan bahwa
makam - makam keramat di desa Sela daerah Sukawati, akan tetap menjadi
milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan ditunjuk
dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam tersebut
untuk pemeliharaannya. ( Graaf, 3,1985 : II ). Daerah enclave sela
dihapuskan pada 14 Januari 1902. Tetapi makam - makam berikut masjid dan
rumah juru kunci yang dipelihara atas biaya rata - rata tidak termasuk
pembelian oleh Pemerintah.
Menelusuri Jejak sang Penangkap petir
Ini adalah salah satu legenda Tanah Jawa, sesosok figur ulama di daerah
Selo, Grobogan, Jawa Tengah yang bernama Ki Ageng Selo...
Silsilah
Menurut silsilah, Ki Ageng Selo adalah cicit atau buyut dari Brawijaya
terakhir. Beliau moyang (cikal bakal-red) dari pendiri kerajaan Mataram
yaitu Sutawijaya. Termasuk Sri Sultan Hamengku Buwono X (Yogyakarta)
maupun Paku Buwono XIII (Surakarta).
Menurut cerita Babad Tanah Jawi (Meinama, 1905; Al-thoff, 1941), Prabu
Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning dan berputra Bondan
Kejawan/Ki Ageng Lembu Peteng yang diangkat sebagai murid Ki Ageng
Tarub. Ia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi
Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Dari perkawinan Lembu
Peteng dengan Nawangsih, lahir lah Ki Getas Pendowo (makamnya di
Kuripan, Purwodadi). Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh dan yang
paling sulung Ki Ageng Selo.
Ki Ageng gemar bertapa di hutan, gua, dan gunung sambil bertani
menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya
dibagi-bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup
berkecukupan. Salah satu muridnya tercintanya adalah Mas Karebet/Joko
Tingkir yang kemudian jadi Sultan Pajang Hadiwijaya, menggantikan
dinasti Demak.
Putra Ki Ageng Selo semua tujuh orang, salah satunya Kyai Ageng Enis
yang berputra Kyai Ageng Pamanahan. Ki Pemanahan beristri putri sulung
Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau
Sutawijaya. Melalui perhelatan politik Jawa kala itu akhirnya Sutawijaya
mampu mendirikan kerajaan Mataram menggantikan Pajang.
Sang Penangkap Petir
Kisah ini terjadi pada jaman ketika Sultan Demak Trenggana masih hidup.
Syahdan pada suatu sore sekitar waktu ashar, Ki Ageng Sela sedang
mencangkul sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan.
Tidak lama memang benar - benar hujan lebat turun. Petir datang
menyambar-nyambar. Petani lain terbirit-birit lari pulang ke rumah
karena ketakutan. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak - enak menyangkul,
baru sebentar dia mencangkul, datanglah petir itu menyambar Ki Ageng
Selo. Gelegar..... petir menyambar cangkul di genggaman Ki Ageng. Namun,
ia tetap berdiri tegar, tubuhnya utuh, tidak gosong, tidak koyak. Petir
berhasil ditangkap dan diikat, dimasukkan ke dalam batu sebesar
genggaman tangan orang dewasa. Lalu, batu itu diserahkan ke Kanjeng
Sunan di Kerajaan Istana Demak.
Kanjeng Sunan Demak –sang Wali Allah-- makin kagum terhadap kesaktian Ki
Ageng Selo. Beliau pun memberi arahan, petir hasil tangkapan Ki Ageng
Selo tidak boleh diberi air.
Kerajaan Demak heboh. Ribuan orang --perpangkat besar dan orang kecil--
datang berduyun-duyun ke istana untuk melihat petir hasil tangkapan Ki
Ageng Selo. Suatu hari, datanglah seorang wanita, ia adalah intruder
(penyusup) yang menyelinap di balik kerumunan orang-orang yang ingin
melihat petirnya Ki Ageng.
Wanita penyusup itu membawa bathok (tempat air dari tempurung kelapa)
lalu menyiram batu petir itu dengan air. Gelegar... gedung istana tempat
menyimpan batu itupun hancur luluh lantak, oleh ledakan petir. Kanjeng
Sunan Demak berkata, wanita intuder pembawa bathok tersebut adalah
“petir wanita” pasangan dari petir “lelaki” yang berhasil ditangkap Ki
Ageng Selo. Dua sejoli itupun berkumpul kembali menyatu, lalu hilang
lenyap.
Versi lainnya
Versi lain menyebutkan petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Selo berwujud
seorang kakek. Kakek itu cepat - cepat ditangkap nya dan kena, kemudian
diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah
cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan
kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji
besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun - alun. Banyak orang yang
berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah
seorang nenek - nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada
kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah
menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan
nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “
bledheg hancur berantakan.
Sejak saat itulah, petir tak pernah unjuk sambar di Desa Selo, apalagi
di masjid yang mengabadikan nama Ki Ageng Selo. "Dengan menyebut nama Ki
Ageng Selo saja, petir tak berani menyambar," kata Sarwono kepada
Gatra.
Soal petir yang tidak pernah ada di Desa Selo diakui oleh Sakhsun, 54
tahun. Selama 22 tahun ia menjadi muazin Masjid Ki Ageng Selo, dan baru
pada akhir November 2004 dilaporkan ada petir yang menyambar kubah
masjid Ki Ageng Selo. Lelaki berambut putih itu pun terkena dampaknya.
Petir itu menyambar sewaktu ia memegang mikrofon hendak mengumadangkan
azan asar.
Sakhsun pun tersengat. Bibirnya bengkak. "Saya tidak tahu itu isyarat
apa. Segala kejadian kan bisa dijadikan sebagai peringatan bagi kita
untuk lebih beriman," katanya. Dia sedang menebak-nebak apa yang bakal
terjadi di desa itu. Menurut kepercayaan setempat, kubah masjid adalah
simbol pemimpin. Apakah artinya ada pemimpin setempat yang akan tumbang?
Larangan Menjual Nasi
Suatu hari ada dua orang pemuda yang bertamu ke rumah Ki Ageng Selo,
Mereka bermaksud hendak belajar ilmu agama pada KI Ageng Selo. Sebagai
tuan rumah yang baik, KI Ageng selo menghidangkan nasi pada mereka,
namun mereka menolakya dengan alasan masih kenyang. Setelah merasa sudah
cukup ( belajar ilmu agama ), kedua pemuda itu pun memohon untuk pamit
pulang. Sepulang dari rumah Ki Ageng, kedua pemuda itu tidak langsung
pulang, melainkan mampir ke warung nasi dulu untuk makan. KI Ageng Selo
melihat hal itu. Beliau merasa sakit hati dan setelah itu beliau berkata
“ Orang-orang di desa selo tidak boleh menjual nasi, kalau ada yang
melanggarnya maka bledheg akan menyambar-nyambar di langit desa Selo “.
Hingga saat ini penduduk yang tinggal di sekitar Komplek Makam KI Ageng
Selo tidak ada yang menjual nasi.
Napak Tilas KI Ageng Selo
Terletak di dusun Krajan, RT II RW 02, Desa Selo Kecamatan Tawangharjo
Kabupaten Grobogan. Tempat ini juga merupakan salah satu tempat wisata
di Kabupaten Grobogan karena mengandung nilai-nilai sejarah yang luar
biasa.
Tempat-tempat penting yang masih berkaitan dengan KI Ageng Selo
1. Makam KI Ageng Tarub
Terletak di desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan sekitar
4 Km dari Makam KI Ageng Selo. Beliau adalah Buyut dari KI Ageng Selo.
Di komplek Makam ada gentong yang airnya berasal dari sendang bidadari.
2. Makam Bondan Kejawan / Lembu Peteng ( Kakek KI Ageng Selo )
Terletak di dusun Mbarahan Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo Kabupaten
Grobogan. Sekitar 3 Km dari Makam KI Ageng Selo. Di area komplek makam
banyak di bangun patung dan stupa. Kini kondisinya semakin tidak
terawat. Banyak patung yang mulai rusak. Namun masih banyak orang yang
datang untuk berziarah
3. KI Ageng Getas Pendowo
Beliau adalah Bapak dari KI Ageng Selo. Makamnya terletak di Kuripan Purwodadi sekitar 15 Km dari Makam KI Ageng Selo. SELO
0 Response to "CERITA KI AGENG SELO"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.